Ekonomi

Rupiahku Merana…

Image

Kalau ditanyakan masalah apa yang paling mengganggu pikiran saya saat ini, mungkin jawabannya akan mengacu pada kondisi beberapa bulan lalu, ketika nilai tukar rupiah tiba-tiba merosot dari sebelumnya yang berada di kisaran Rp 9.600-an per USD pada awal tahun 2013 tiba-tiba harus berada di atas angka Rp 12.000 per USD. Sejujurnya, sangat diluar perkiraan dan sedikit membuat jantung berdetak lebih cepat, apalagi akhir tahun 2013 lalu saya membutuhkan sejumlah uang dalam kurs dollar sehingga pergerakan nilai rupiah yang secara begitu cepat melemah hingga hampir lebih dari 2000 poin ini cukup memiliki pengaruh signifikan, khususnya untuk manusia Indonesia seperti saya yang hanya punya tabungan rupiah – dan belum pernah berpikir untuk membuka tabungan dollar.

Bila ditelusuri lebih jauh mengenai alasan pelemahan rupiah ini, dikatakan oleh para pakar adalah karena terjadinya defisit neraca perdagangan atau nilai impor Indonesia lebih besar dari nilai ekspor Indonesia, sehingga menyebabkan nilai rupiah terhadap mata uang asing terutama USD melemah karena tentu saja transaksi yang dilakukan dalam importasi komoditas adalah dalam mata uang asing. bila pertanyaannya ingin diteruskan lebih lanjut, Pemerintah menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya defisit neraca perdagangan ini salah satunya adalah karena tingginya konsumsi BBM di dalam negeri (http://www.katadata.co.id/1/1/news/waspadai-defisit-neraca-perdagangan-minyak/771/), yang sudah kita sama-sama ketahui kalau negara Indonesia kita ini bukan lagi negara yang bergelimang harta hasil minyak bumi, atau dengan kata lain bahwa Indonesia telah sejak lama menjadi negara net-importir minyak. Sehingga tingginya konsumsi bahan bakar minyak di dalam negeri berarti permintaan akan impor bahan bakan minyak yang lebih besar dari luar negeri. Kemudian yang lebih menyedihkan lagi, bila ditanyakan mengapa konsumsi BBM di dalam negeri meningkat, maka jawabannya akan mengarah kepada tiga tersangka, yaitu: pertumbuhan pendapatan, meningkatnya kepemilikan mobil, dan subsidi BBM (http://www.katadata.co.id/1/1/news/kelas-menengah-penyebab-lonjakan-impor-bbm/593/). Dan tiga tersangka yang baru saja disebutkan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat kelas menengah atau secara kasar bisa dikatakan bahwa kelas menengah lah yang menyebabkan impor BBM meningkat, yang pada kemudian menyebabkan defisit neraca perdangangan, yang kemudian lagi melemahkan nilai tukar rupiah, dan yang kemudian lagi membuat jantung berdetak lebih kencang bagi manusia Indonesia tanpa tabungan dollar seperti saya ini ketika tiba-tiba harus melakukan aktivitas ekonomi dalam mata uang dollar.

Bila demikian, apa berarti kelas menengah adalah biang keladi atas semua kekacauan yang terjadi belakangan ini yang menyebabkan nilai rupiah menyusut terhadap dollar? Bila merujuk pada definisi kelas menengah di Indonesia yang berarti adalah masyarakat dengan pengeluaran rata-rata per bulan pada kisaran 1 juta rupiah hingga 6 juta rupiah (http://banjarkab.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=133:geliat-ekonomi-kelas-menengah&catid=47:artikel-sumbangan), maka saya termasuk ke dalam golongan kelas menengah ini, dan bila saya menyalahkan kelas menengah, berarti saya menyalahkan diri saya sendiri atas kekacauan yang saya alami? Rasanya hal itu terlalu bijak dan rendah hati untuk diri saya.

Berarti harus ada hal lain yang perlu diperiksa apabila kesalahannya tidak semata-mata ada di prilaku “kelas menengah”. Pasti ada masalah lain yang terjadi, sehingga menyebabkan pertumbuhan pendapatan yang seharusnya adalah anugerah bagi masyarakat Indonesia justru menjadi bumerang yang menyulitkan sebagian lainnya. Pasti ada masalah lain yang terjadi, sehingga peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor oleh masyarakat justru menimbulkan beban di sisi lain. Hal ini lah yang menjadi beban pikiran bagi saya belakangan ini. Bila memang yang terjadi adalah sebagaimana yang diatas, maka apakah benar apa yang dikatakan banyak orang – atau diri saya sendiri, bahwa masyarakat Indonesia ini, terutama kelas menengahnya yang cenderung konsumtif, sehingga ketika terjadi peningkatan pendapatan, ekspresi pertama yang dilakukan adalah meningkatkan konsumsinya menjadi lebih besar, sedangkan hal itu tidak diimbangi dengan ekspresi untuk meningkatkan produktivitas menghasilkan barang, yang pada ujungnya adalah peningkatan konsumsi itu harus dipenuhi dari luar negeri yang berarti adalah impor, yang berarti juga adalah semakin membuat posisi rupiah lebih lemah lagi. Bila memang demikian keadaannya, sampai kapan hal sedemikian tersebut harus terus berlangsung? Entahlah!

Tapi sepertinya, sebagaimana harapan saya, tidaklah melulu benar bila masyarakat Indonesia ini adalah masyarakat yang konsumtif, karena buktinya pada quartal ke-empat tahun 2013 lalu, terjadi surplus neraca perdagangan, (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/01/02/1708059/Neraca.Perdagangan.Indonesia.Surplus.776.8.Juta.Dollar.AS) yang tren tersebut diteruskan hingga di awal tahun 2014 ini sehingga rupiah bisa kembali meningkat dibawah angka 12.000 per USD.

Walaupun tentu saja masalah tidak sesederhana apa saya sebutkan dalam tulisan ini, namun untuk bagian terakhir ini saya perlu kembali mengungkapkan perasaan sedih saya ketika menyaksikan televisi, kemudian saya mendengar pejabat pemerintah dan ekonom dari bank swasta yang mengatakan kalau penguatan rupiah yang terjadi beberapa waktu belakang ini adalah terlalu cepat, dan mengesankan kalau hal itu harus dihindari. Sekali lagi,  bagi manusia Indonesia seperti saya yang tidak memiliki tabungan dollar, penguatan rupiah terhadap dollar adalah hal yang baik, semakin tinggi penguatan itu adalah baik, dan lebih cepat hal itu terjadi adalah lebih baik.

“please lah Pak!! biarkanlah rupiah menguat hingga ke posisi awalnya, posisi awalnya yang bernilai Rp 2.500 per USD)” ..

sekian

-kalibata, sore yang meriang-

Standard

Leave a comment